BMKG: Tak Ada Zona Megathrust di Selat Makassar

Ilustrasi. (Foto: Medcom.id) Ilustrasi. (Foto: Medcom.id)
Jakarta: Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memastikan tidak ada zona megathrust di Selat Makassar. Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono mengatakan informasi yang ramai media sosial soal megathrust di Selat Makassar tidak benar. 

"Di selat Makassar tidak ada aktivitas penunjaman lempeng (pate subduction), yang ada adalah sumber gempa Makassar Strait Thrust. Artinya, sesar naik Selat Makassar," kata dia, melansir Antara, Sabtu, 11 Januari 2020.

Daryono menjelaskan, megathrust adalah istilah untuk menyebut sumber gempa di zona penunjaman lempeng, tepatnya lajur subduksi landai dan dangkal.

Wilayah Pulau Sulawesi merupakan kawasan seismik aktif dan kompleks. Disebut seismik aktif karena wilayah ini memiliki tingkat aktivitas gempa yang tinggi. Disebut kompleks karena memiliki banyak sebaran sumber gempa dengan berbagai mekanisme.

Dalam buku Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia tahun 2017 yang diterbitkan oleh Pusat Studi gempa Nasional (Pusgen), wilayah Pulau Sulawesi memiliki 48 struktur sesar aktif dan satu zona Megathrust Sulawesi Utara.

Di Sulawesi, zona megathrust ini berhadapan dengan wilayah pesisir pantai utara Sulawesi Utara, Gorontalo, dan sebagian Sulawesi Tengah bagian utara. Megathrust Sulawesi Utara merupakan sumber gempa yang berpotensi memicu gempa kuat.

Catatan sejarah gempa dan tsunami menunjukkan bahwa di Pulau Sulawesi dan sekitarnya sejak tahun 1800 sudah terjadi lebih dari 69 kali gempa merusak dan tsunami.

Peristiwa gempa merusak terjadi lebih dari 45 kali dan tsunami lebih dari 24 kali. Sebagian besar gempa dan tsunami di Sulawesi dipicu oleh aktivitas sesar aktif, bukan aktivitas zona megathrust.

Dari sebanyak 24 kali tsunami di Sulawesi yang dipicu oleh megathrust Sulawesi Utara, hanya empat kali kejadian yaitu tsunami di utara Gorontalo 25 Agustus 1871 tanpa ada korban jiwa, tsunami Tolitoli 2 Februari 1904 tidak ada korban jiwa, tsunami Kwandang-Manado 29 Januari 1920 tidak ada korban jiwa, dan tsunami Tolitoli 1 Januari 1996 yang menyebabkan sembilan orang meninggal.

"Sulawesi memang rawan gempa, karena banyak sumber gempa. Namun demikian potensi gempa harus disampaikan kepada masyarakat apa adanya sesuai fakta tidak berlebihan hingga menimbulkan kecemasan," tambah dia.

Lebih lanjut dia mengatakan, adanya potensi gempa dan tsunami di Sulawesi tidak perlu membuat masyarakat kecil hati dan khawatir berlebihan. Semua informasi terkait potensi gempa dan tsunami harus direspons dengan langkah nyata dengan upaya memperkuat mitigasi guna meminimalkan dampak.

"Meskipun tinggal di daerah rawan gempa, kita tetap dapat hidup dengan aman dan nyaman karena yang paling penting dan harus dibangun adalah mitigasi, kesiapsiagaan, kapasitas stakeholder dan masyarakat, serta menyiapkan infrastruktur yang tahan gempa," tambah dia.

(IDM)

Berita Lainnya